Minggu, 05 Agustus 2012

PENGINJILAN, SALAH SATU TUGAS ESENSIAL GEREJA

Istilah “penginjilan” sudah menjadi satu istilah yang umum, dan erat hubungannya dengan kehidupan gereja di sepanjang zaman. Dalam konteks masa kini, beberapa gereja lokal menanggapi penginjilan sebagai satu tugas yang dapat  dilakukan melalui bersaksi kepada orang-orang yang ditemuinya. Beberapa gereja lokal lainnya menanggapi penginjilan sebagai satu tugas dari anggota-anggota tertentu saja, dan beberapa gereja lokal berpendapat bahwa penginjilan merupakan tugas dari gereja lokal lainnya, sedangkan gereja lokal tersebut bertugas untuk mendewasakan orang-orang yang datang kepadanya.
Menurut Kamus Besar  Bahasa Indonesia kata “tugas” didefinisikan sebagai: (- kewajiban), sesuatu yang wajib dikerjakan atau yang ditentukan untuk dilakukan; suruhan (perintah) untuk melakukan sesuatu; fungsi (jabatan),[1] sedangkan kata “esensial” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan:  perlu sekali; penting; hakiki; harus ada.[2] Dari pengertian  kata “tugas” dan kata “esensial” tersebut, maka penginjilan sebagai salah satu tugas esensial gereja adalah satu kewajiban, atau sesuatu yang wajib dikerjakan, dan yang ditentukan untuk dilakukan oleh gereja.

Penginjilan Dan Masyarakat Di Sekitar Gereja


Stott mengemukakan gereja sebagai ekklesia-Nya Allah, dipanggil Allah dari dunia ini menjadi milik-Nya untuk hidup kudus karena Dia adalah Allah yang kudus, dan hidup berpadanan dengan panggilannya.[1] Panggilan itu tidak bertujuan agar gereja menarik diri keluar dari dunia kepada kehidupan pietisme.[2] Tuhan tidak memanggil gereja, juga tidak memisahkan secara total dari masyarakat dunia ini.
Gereja dipanggil dari dunia, dan secara status disebut sebagai orang-orang kudus, berbeda, terpisah; umat yang dikuduskan bagi Allah, tetapi Tuhan tidak membuat gereja-Nya menjadi gereja yang eksklusif. Allah juga mengutus gereja ke dalam dunia untuk menyaksikan Kabar baik kepadanya.
Robert dan Evelyn dalam buku dengan judul “Menyampaikan Kabar Baik” memberikan gambaran tentang jiwa-jiwa di sekitar kita:
Mungkin saudara pernah menumpang sebuah bus atau kereta api yang penuh sesak. Ingatkah saudara bagaimana keadaannya? Semua tempat duduk penuh. Mungkin saudara harus berdiri dengan banyak orang lain dan orang yang berdiripun harus berdesak-desakan! Banyak negara makin padat penduduknya. Meskipun setiap hari dibangun gedung-gedung baru, namun tidak cukup perumahan bagi setiap orang.
Makin banyak orang, makin cepatlah penduduk meningkat. Dalam tahun 1930 dunia kita berpenduduk 2 milyar orang. Sekarang sudah lebih dari empat milyar. Itu berarti tambahan 2 milyar orang dalam waktu 50 tahun. Akan tetapi, pada tahun 2000 mungkin penduduk dunia akan mencapai 6 milyar orang – tambahan dari 2 milyar dalam waktu 20 tahun saja.

Penginjilan, Korelasinya Dengan Pertumbuhan Gereja


Hamilton berpendapat “kalau gereja ingin melihat gambaran pertumbuhan gereja, marilah kita melihat tugas khusus kita yaitu penginjilan.”[1] Kemudian Gerber menegaskan bahwa penginjilan haruslah dilaksanakan berdasarkan Amanat Agung. Mengapa? Perhatikanlah kutipan berikut ini:
Inti Amanat Agung ialah JADIKANLAH ... MURID, artinya membawa orang, baik pria maupun wanita, kepada Yesus Kristus, sehingga mereka beriman dan dengan sepenuh hati menyerahkan diri kepada Dia.
Ini merupakan proses yang terus menerus, proses yang mempersekutukan orang-orang yang beriman kepada Yesus Kristus, menjadikan mereka anggota-anggota gereja yang bertanggung jawab dan yang berbuah. Murid-murid ini pergi untuk menjadikan orang-orang lain murid Yesus Kristus, membaptiskan mereka, mengajar mereka serta menggabungkan mereka kepada gereja. Oleh karena itu, penginjilan yang tidak mempersekutukan petobat-petobat baru kepada gereja setempat tidak dapat dikatakan mencapai tujuan.
Pada hari Pentakosta gereja pertama yang terdiri dari 120 anggota bertambah 3.000 orang dalam satu hari. Orang-orang yang baru itu kemudian memasuki masyarakat kota di sekitar mereka dan disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambahkan jumlah mereka dengan orang-orang yang diselamatkan. Dalam proses penyelamatan yang terus menerus ini, gereja menjadi sasaran dan juga pelaksana dari penginjilan yang dinamis.
Dalam Perjanjian Baru keefektifan penginjilan adalah suatu kualitas yang selalu diukur dengan kuantitas angka-angka yang tepat mengenai jumlah orang yang mengaku percaya (kuantitas) dicatat. Angka-angka ini didasarkan atas jumlah orang yang terus menjadi pengikut Kristus, yang dibaptiskan dan yang bertekun dalam pengajaran rasul-rasul, bersekutu serta berkumpul untuk memecah-mecahkan roti dan berdoa (kualitas). Iman tanpa perbuatan adalah iman yang mati. Oleh karena itu dalam Perjanjian Baru pertumbuhan rohani sering dinyatakan secara kuantitas. Hal ini mungkin, karena kualitas dan kuantitas merupakan dua aspek dari satu fakta yang sama.[2]

Penginjilan yang dilaksanakan berdasarkan Amanat Agung tidak berhenti pada batas menjadikan seseorang menjadi anggota gereja lokal saja, tetapi juga bertanggung jawab untuk memuridkan orang tersebut sama seperti Yesus telah memuridkan kedua belas murid-Nya. Pemuridan bertujuan agar setiap orang memahami dengan benar mengapa Allah menyelamatkannya. Dengan satu harapan setelah mereka menjalani proses pemuridan, mereka menjadi seorang anggota gereja lokal yang bertanggung jawab untuk turut melaksanakan tugas penginjilan.
Purnawan memberikan pendapat tentang korelasi antara penginjilan dan pertumbuhan gereja sebagai berikut ini:
Tidaklah berlebihan kalau saya tuliskan bahwa: penginjilan adalah motor bagi pertumbuhan gereja. Tanpa penginjilan gereja tidak lahir. Kisah Para Rasul melaporkan keyakinan ini, sejarah gereja mengulangnya dan akan terus terulang sampai Tuhan Yesus datang kembali untuk kedua kalinya dan menyempurnakan segalanya. Penginjilan memiliki peranan utama dalam pertumbuhan gereja. Pertumbuhan yang dihasilkannya itu adalah pertumbuhan yang sehat. Sehat karena pertumbuhan seperti itu adalah sesuai dengan kehendak Tuhan. Tuhan menghendaki supaya jangan ada orang yang binasa, melainkan supaya semua orang bertobat (2 Petrus 3:9). Tanpa penginjilan gereja akan berhenti untuk bertumbuh, bahkan mungkin dengan segera mati.[3]

Tanibemas menyebutkan penginjilan sebagai motor bagi pertumbuhan gereja.  Pernyataan ini dapat dibuktikan sebagai berikut ini:
1.      Alkitab mengatakan usia manusia di muka bumi ini hanya sekitar tujuh puluh tahun, dan jika kuat delapan puluh tahun (Mazmur 90:10).
2.      Belakangan ini para ahli memperkirakan bahwa usia manusia paling kuat 60 tahun. Kalau gereja tidak memanfaatkan waktu yang ada untuk memberitakan injil, seiring dengan perjalanan waktu beberapa anggota gereja lokal ada yang meninggal, maka pada akhirnya gereja mati sama sekali.
3.      Lamanya seseorang dapat bertahan hidup tidak dapat dihitung secara pasti. Dalam kehidupan manusia di muka bumi ini berlaku “hukum kesempatan dan kemungkinan,” jadi kesempatan untuk memberitakan Injil adalah sekarang, bukan nanti dan atau beberapa waktu yang akan datang.
Hasil analisa di atas membuktikan bahwa jikalau gereja tidak melaksanakan tugas penginjilan, akibatnya penginjilan tidak dapat berfungsi sebagai motor bagi pertumbuhan gereja.
Penginjilan merupakan satu sarana yang dipakai Allah untuk membuktikan kepada dunia ini akan keberadaan gereja-Nya sebagai gereja yang dinamis, dan bukan statis (kata “dinamis” berasal dari bahasa Yunani yaitu “δύναμις” dibaca “dinamis” artinya kuasa, kekuatan yang besar, dan tenaga pendorong yang besar).[4] Tuhan Yesus menghendaki agar gereja-Nya menjadi dinamis (bnd. Kis 1: 8).
Kedinamisan gereja dalam pertumbuhan sebagai hasil dari penginjilan dapat diukur dari keberhasilannya untuk mempertemukan orang-orang berdosa dengan Kristus.”[5] Kedinamisan gereja juga dapat diukur dari keberhasilannya untuk membimbing orang-orang untuk mengambil keputusan untuk menerima Yesus menjadi Juru selamatnya, kemudian membimbingnya menjadi orang Kristen yang efektif.[6]


[1]Michael Hamilton, God’s Plan for the Church Growth!. (Springfield: Radiant Books, 1981), p. 51.
[2]Vergil  Gerber, Pedoman Pertumbuhan Gereja/Penginjilan. (Bandung: Penerbit Kalam Hidup, 1982), p. 14-16.
[3] Menuju Tahun 2000: Tantangan Gereja Di Indonesia sebuah bunga rampai dalam rangka peringatan 25 Tahun Kependetaan Caleb Tong, ed. S.v. Pertumbuhan Gereja Dan Strategi Penginjilan oleh Purnawan Tanibemas, (Surabaya: YAKIN, 1990), p.175-176.
[4]William F. Arndt & F. Wilbur Gingrich, Greek-English Lexicon Of The Testament and Other Early Christian Literature (Chichago: The University of Chicago Press, 1971), p. 206.
[5] C. E. Autrey, Basic Evangelism, (Grand Rapids: Zondervan Publishing House, 1981), p. 16.
[6]Ibid, p.17.

Penginjilan, Salah Satu Tugas Gereja Di Antara Tugas-tugasnya Yang Lain


Sejarah gereja memang mencatat bahwa gereja ada karena penginjilan. Ini dapat dibuktikan dari catatan-catatan yang terdapat dalam kitab Perjanjian Baru khususnya kitab Kisah Para Rasul. Berikut ini bukti-bukti penginjilan yang dicatat oleh kitab Kisah Para Rasul:
1.      Dalam dunia Perjanjian Baru, dicatat bahwa  sejarah kelahiran gereja dimulai setelah peristiwa pencurahan Roh Kudus yang terjadi pada hari Pentakosta. Setelah peristiwa tersebut Petrus menyerukan berita Injil kepada orang-orang Yahudi yang sedang berkumpul di Yerusalem sehubungan dengan hari raya Pentakosta. Penginjilan pertama ini menghasilkan sebanyak 3000 orang percaya dan memberi diri mereka dibaptiskan sesuai dengan perintah Tuhan Yesus. (Kisah Para Rasul  2: 41).
2.      Petrus dan Yohanes berbicara kepada orang banyak, imam-imam dan kepala pengawal bait Allah serta orang-orang Saduki. Dari antara mereka yang mendengarkan ajaran itu menjadi percaya. Anggota gereja bertambah menjadi
kira-kira 5000 orang laki-laki, belum termasuk anak-anak dan wanita (Kis 4: 1-4).
3.      Pada waktu yang lain Tuhan mengutus Petrus untuk penginjilan kepada orang bukan Yahudi yaitu kepada Kornelius dan keluarganya. Penginjilan kepada keluarga non Yahudi ini memenghasilkan orang percaya baru yaitu Kornelius dan
seluruh isi rumahnya. (Kis 11).
4.      Rasul Paulus serta teman-temannya penginjilan ke daerah-daerah di luar Yerusalem. Alkitab mencatat beberapa nama dari jemaat di luar Yerusalem hasil penginjilan tersebut, antara lain: jemaat di Ikonium Listra (Kis 13: 43, 48); jemaat di Antiokia (Kis 14:21), jemaat di Filipi (Kis 16:13,14), jemaat di Tesalonika yang terdiri dari orang-orang Yunani (Kis 17: 1-4).
Sejarah gereja sesudah dunia Perjanjian Baru juga memberikan bukti-bukti penting bagaimana peranan penginjilan dalam kehidupan gereja Tuhan sepanjang masa. Khususnya di Indonesia, gereja Tuhan di negeri ini dapat berdiri karena penginjilan yang dilakukan oleh para penginjil dari Eropa yang bernaung di Nederlands Zendeling Genootscap(N.Z.G.), antara lain di Maluku oleh Yosef Kam.,[1] di tanah Batak yaitu Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) pada tahun 1862 oleh Ingwer Ludwig Nomensen.[2] Dengan demikian dapat disimpulkan:
1.
      Penginjilan sebagai salah satu tugas esensial gereja mempunyai peranan penting dalam kehidupan gereja. Gereja Tuhan di seluruh belahan bumi ini mulai dari perkotaan sampai dengan ke pedalaman lahir karena penginjilan.
2.      Banyak jiwa menjadi percaya kepada Yesus Kristus serta menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juru selamat pribadinya adalah karena penginjilan.
Menjadi pertanyaan apakah gereja dapat berfungsi jikalau ia hanya melakukan


tugas penginjilan saja, dan tidak melaksanakan tugas-tugas esensialnya yang lain? Selain penginjilan, apakah tugas-tugas esensial gereja yang lainnya? Menzies dan Horton  mengemukakan bahwa gereja mempunyai tiga tugas rangkap, yaitu: memberitakan Injil ke seluruh dunia,[3]melayani Allah,[4] membangun sekumpulan orang kudus (orang-orang percaya yang berdedikasi), mengasuh mereka yang percaya supaya mereka menjadi serupa dengan citra Kristus.[5]Stott mengemukakan tugas pokok gereja ada tiga, yaitu: melayani (διαχονία) [6](pelayanan sosial), kesaksian Kristen (μαρτυρέω),[7]bersekutu (κοινωνία).[8]  
Ketiga tugas rangkap gereja tersebut tercermin dalam kehidupan jemaat mula-mula seperti yang dinyatakan oleh kitab Kisah Para Rasul. Secara kronologis kitab ini mencatat kehidupan gereja mula-mula itu sebagai berikut:
1.     Setelah peristiwa pencurahan Roh Kudus yaitu pada hari Pentakosta (Kis 2:1-4), diberitakan bahwa di sana sedang berkumpul juga orang-orang Yahudi yang datang dari daerah perantauan mereka (dari Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, Firigia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, dan Roma) untuk merayakan hari Pentakosta (Kis 2:5-12). Pada awalnya orang-orang tersebut menyebutkan  bahwa murid-murid tersebut sedang mabuk anggur, mendengar tanggapan orang-orang tersebut, lalu Petrus berdiri untuk menyerukan berita keselamatan di dalam Yesus Kristus. Mendengar berita tersebut, bertobatlah kira-kira tiga ribu jiwa jumlahnya (Kis 2:14-41).
2.    Orang-orang yang bertobat tersebut menjadi percaya dengan berita yang
disampaikan oleh Petrus tersebut lalu memberi diri mereka dibaptis. Kemudian mereka berkumpul dan bersekutu serta dengan tekun mendengarkan pengajaran para rasul (Kis 2: 42-47). Dalam kehidupan jemaat yang mula-mula ini suasana koinoniadan diakonia di antara jemaat masih sangat baik. Lukas mencatat orang-orang percaya bertekun dalam pengajaran rasul-rasul (pemuridan), dalam persekutuan (koinonia), dan selalu berkumpul untuk memecahkan roti (diakonia).
3.     Dalam Kisah Para Rasul 6: 1 dicatat tugas koinonia dan diakonia dalam jemaat kurang diperhatikan. Keadaan ini membuat kehidupan gereja mula-mula yang tadinya sangat harmonis menjadi sedikit bermasalah. Kurang berfungsinya salah satu tugas gereja pada waktu itu menyebabkan tugas-tugas yang lain juga menjadi terganggu.
Contoh kasus yang dicatat oleh Lukas dalam kitab Kisah Para Rasul menjelaskan  keadaan gereja pada waktu itu, dan juga sering dialami oleh gereja masa kini. Berdasarkan bukti tersebut, pada waktu ketiga tugasnya dijalankan dengan seimbang, kehidupan gereja tetap harmonis. Keharmonisan itu memberi dua dampak, yaitu:
1.      Orang-orang yang belum percaya di sekitar gereja menyukai kehidupan mereka,
2.      Banyak dari orang-orang yang belum percaya itu menjadi percaya dan mengikut jalan keselamatan (disebut juga sebagai ajaran jalan Tuhan).
Keadaan kehidupan gereja yang harmonis tersebut tidak dapat dipertahankan untuk waktu yang lama. Lukas mencatat bahwa pada waktu gereja mulai tidak menjaga keseimbangan di antara tugas- tugasnya, gereja masuk ke dalam kehidupan yang berbeda dengan keadaan sebelumnya (Luk 6: 1). Lukas mencatat, gereja kurang memperhatikan tugas diakonia. Akibatnya terjadilah perselisihan di antara jemaat Yahudi berbahasa Yunani dan jemaat Yahudi berbahasa Ibrani. Perhatikanlah gambar di bawah ini!


Gambar 1.
Diagram Tiga Tugas Gereja

Pada gambar 1 di atas, penulis menganalogikan tugas penginjilan, koinonia, dan diakonia sebagai dinding pagar yang melindungi gereja lokal. Apabila salah satu tugasnya ditiadakan, gereja kehilangan salah satu dinding pagar perlindungannya. Dengan demikian, gereja mudah diserang oleh berbagai masalah, baik dari luar gereja, dan juga tidak tertutup kemungkinan dari dalam gereja sendiri. Tanpa kesatuan dan keseimbangan di antara ketiga sisi pagar tersebut, kehidupan gereja menjadi kurang harmonis. Akibatnya, gereja kurang efektif untuk menjalankan fungsinya di tengah dunia ini.


[1] H. Berkhof & L. H. Enklaar, Sejarah Gereja, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 1990),      p. 314.
[2]Ibid, p. 316.
[3] William W. Menzies & Stanlesy M. Horton, Doktrin Alkitab, (Malang: Gandum Mas, 1998), p.165.
[4]Ibid, p. 166.
[5]Ibid, p. 171.
[6]John Stot, Satu Umat, p. 23.
[7]Ibid, p. 52.
[8] Ibid, p. 86.

Penginjilan Dan Korelasinya Dengan Amanat Agung


Penginjilan sebagai salah satu tugas esensial gereja pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dari Amanat Agung, yaitu amanat yang diberikan oleh Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya sebelum Ia terangkat ke sorga. Amanat tersebut dicatat oleh Matius, Markus, dan Lukas sebagai berikut:
1.      Yesus mendekati mereka dan berkata: “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”  (Matius 28:18-20).
2.      Lalu Ia (Yesus) berkata kepada mereka: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala mahluk, siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum. Tanda-tanda ini akan menyertai orang-orang yang percaya; mereka akan mengusir setan-setan dalam nama-Ku, mereka akan berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, mereka akan memegang ular, dan sekalipun mereka minum racun maut, mereka tidak akan mendapat celaka; mereka akan meletakkan tangannya atas orang sakit, dan orang itu akan sembuh” (Markus 16: 15-18).
3.      Kata-Nya kepada mereka: “Ada tertulis demikian: Mesias harus menderita dan bangkit dari antara orang mati pada hari yang ketiga, dan lagi: dalam nama-Nya berita tentang pertobatan dan pengampunan dosa harus disampaikan kepada segala bangsa, mulai dari Yerusalem. Kamu adalah saksi dari semuanya ini. Dan aku akan mengirim kepada kamu apa yang dijanjikan Bapa-Ku. Tetapi kamu harus tinggal di dalam kota ini sampai kamu diperlengkapi dengan kekuasaan dari tempat yang tinggi” (Lukas 24:46-49).
Menzies, Horton, Tomatala, serta Autrey berpendapat bahwa tugas inti dari Amanat Agung adalah pergi kepada segala bangsa, kemudian menjadikan orang-orang berdosa menjadi murid Kristus yang taat  untuk melakukan segala sesuatu yang Tuhan perintahkan.[1] 
Pada topik “Penginjilan, inisiatif dan bukti kasih Allah,” penulis mengutip pernyataan Yesus tentang misi utama-Nya datang ke dunia ini. Menurut penulis jika pernyataan misi ini dihubungkan dengan Amanat Agung, maka pernyataan tersebut dapat disebut sebagai tujuannya, yaitu agar tidak seorang pun yang terhilang. Dalam korelasinya dengan gereja  sebagai penerima dan pelaksana amanat itu, maka pernyataan misi tersebut hanya akan terwujud jika gereja melakukan tugas penginjilan dengan taat sehingga orang-orang yang masih hidup dalam dosa memperoleh kesempatan untuk mendengarkan Injil keselamatan.
Stott menyatakan misi tersebut merupakan tugas gereja yang adalah ekklesianya Tuhan Yesus (kata “ekklesia” berasal dari bahasa Yunani, artinya “yang dipanggil keluar dari dunia ini, untuk menjadi milik-Nya, dan berada sebagai sesuatu yang sungguh-sungguh ada dan terpisah, semata-mata hanya karena panggilannya”).[2]  Gereja dipanggil keluar dari dunia ini oleh Allah, dikuduskan-Nya,  kemudian mengutusnya kembali ke dalam dunia dengan satu amanat untuk memberitakan Injil kepadanya.  Berdasarkan  arti dari kata “ekklesia,” maka gereja seharusnya dipahami dengan dua arti yaitu sebagai gereja yang universal[3] yang artinya kumpulan dari semua orang yang percaya di seluruh dunia, dan gereja dalam arti kumpulan orang-orang yang percaya di satu lokasi tertentu atau disebut sebagai gereja lokal[4] atau kumpulan orang-orang percaya yang berkumpul di satu tempat atau lokasi tertentu, jadi bukan gereja dalam arti gedungnya, dan atau denominasi.
Berdasarkan penjelasan di atas, Amanat Agung adalah merupakan landasan gereja untuk melaksanakan tugas penginjilan, karena di dalamnya  terkandung wujud kasih dan kerinduan Allah kepada umat manusia, yaitu agar tidak seorang pun yang terhilang dan binasa. Perhatikanlah perintah-perintah berikut ini: “Pergilah jadikanlah semua bangsa murid-Ku” (Matius 28: 19), dan “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala mahluk (Markus 16:16).” Dalam perintah tersebut, Tuhan Yesus tidak membatasi wilayah kerja gereja hanya dalam satu wilayah tertentu, atau hanya kepada suku tertentu, dan  atau kepada orang-orang tertentu saja. Perintah tersebut tersebut  memiliki cakupan yang sangat luas, yaitu kepada semua mahluk yang ada di muka bumi ini.
Pada masa kini pun seharusnya gereja melaksanakan penginjilan berdasarkan strategi yang telah ditetapkan oleh Tuhan Yesus, yaitu penginjilan dimulai dari daerah yang terdekat dahulu, kemudian ke daerah-daerah di sekitarnya dan terakhir ke daerah yang lebih jauh lagi yaitu bangsa-bangsa lain yang belum pernah mendengarkan berita Injil. Di sisi yang lain, Tuhan Yesus juga memerintahkan jikalau berita Injil keselamatan itu ditolak di satu daerah, sebaiknya gereja  meninggalkan mereka, dan memberitakannya kepada orang lain yang belum pernah mendengarkan Injil itu (Lukas 10: 1-11).
Amanat Agung memberikan beberapa rambu-rambu kepada gereja pada waktu melakukan tugas penginjilan.
1.      Gereja harus aktif, bukan reaktif.
Yesus berkata “pergi” dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti berjalan atau bergerak maju.[5] Jadi gereja harus bergerak maju untuk memproklamasikan Injil kepada dunia ini (Matius 28:16).
2.      Gereja jangan berhenti pada satu suku tertentu, atau kepada satu kelompok tertentu, tetapi gereja harus membuka mata melihat  semua suku bangsa  yang belum terjangkau. Gereja harus melihat semua lapisan masyarakat dunia ini yang belum mendengarkan Injil Kristus dan kemudian memberitakan Injil kepada mereka (Markus 16:16).
3.      Gereja harus memberitakan tentang pertobatan dan pengampunan dosa hanya dalam nama Tuhan Yesus (Lukas 24:47).
4.      Gereja harus memuridkan setiap orang yang telah percaya dan mendidik mereka menjadi murid yang taat kepada segala perintah Tuhan Yesus (Matius 28:19,20).
5.      Gereja jangan berhenti pada batas membuat orang menjadi percaya, tetapi juga mengintegrasikannya ke dalam persekutuan orang-orang percaya melalui baptisan  (Mat 28:19; Mark 16:16).
Berdasarkan Amanat Agung, Tuhan Yesus memberikan jaminan kepada gereja dalam melaksanakan tugas penginjilan sebagai berikut ini, yaitu:
1.      Gereja tidak bekerja sendiri. Yesus sebagai pemberi amanat tetap menyertai gereja-Nya (Matius 28:20).
2.      Setelah gereja melakukan tugas penginjilan pasti ada yang menerima Injil, mereka yang menerima (yang mempercayai berita Injil tersebut) dan dibaptis pasti diselamatkan (Markus 16:16).
3.      Tuhan Yesus akan mengirimkan Roh Kudus kepada gereja-Nya yang mengasihi-Nya dan yang rindu untuk melakukan tugas penginjilan (Lukas 24:49).
4.      Ada tanda-tanda yang akan menyertai gereja pada waktu melaksanakan penginjilan. Gereja mempunyai kuasa untuk mengusir setan dalam nama Yesus, gereja berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru bagi mereka, gereja mempunyai kuasa untuk memegang ular, dan sekali pun minum racun maut tidak akan mendapat celaka, gereja meletakkan tangan atas orang sakit dan orang tersebut menjadi sembuh (Markus 16:17-19).
Dalam menjalankan tugas penginjilan, gereja tidak dapat meniadakan Amanat Agung.  Menurut penulis, apabila Amanat ini tidak ditaati sepenuhnya, penginjilan hanyalah merupakan program semata, dan gereja penuh dengan orang yang tidak memahami arti hidup menjadi orang percaya.



[1]Buku-buku yang dipakai sebagai buku riset dalam penulisan skripsi ini adalah Basic Evangelism oleh C. E. Autrey, Doktrin Alkitab oleh William W. Menzies & Stanley M. Horton, Penginjilan Masa Kini oleh Yakob Tomatala.
[2]John Stot, Satu Umat (Malang: Seminari Alkitab Asia Tenggara, 1990; Reprint ed. 1997),  p. 10.
[3]Henry C. Thiessen,  Teologia Sitematika (Malang: Penerbit Gandum Mas. 1992), p. 476-478.
[4]Ibid.
[5]Kamus Besar Bahasa Indonesia, p. 670.

Penginjilan, Inisiatif dan Bukti Kasih Allah Kepada Manusia


Penginjilan sebagai salah satu tugas esensial gereja perlu dilihat dari sisi inisiator dan motifasi yang mendorong inisiator untuk melakukannya. Alkitab, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mencatat bukti-bukti penting tentang inisiator dan motifasi yang mendorongnya untuk mengadakan penginjilan. Perhatikanlah fakta-fakta berikut ini yang tertera pada tabel di bawah ini. Alkitab mencatat dengan sangat jelas tentang sikap Allah terhadap manusia sebelum dan sesudah kejatuhannya ke dalam dosa.
Sebelum Manusia Jatuh dalam Dosa
Sesudah Jatuh dalam Dosa
1.      Hubungan Antara Manusia Dengan Allah Sangat Intim.
 Bukti-buktinya:
-   Allah memberi perintah langsung kepada manusia untuk beranakcucu, serta memenuhi bumi, dan menaklukkan bumi (Kej. 1: 28),
-   Allah menjelaskan jenis makanan yang layak untuk manusia (Kej. 1: 29),
-   Allah memberikan otoritas serta kepercayaan kepada manusia untuk mengusahakan taman Eden (Kej. 2:15),
-   Allah memberikan perintah larangan kepada manusia dan menjelaskan akibat yang akan dialaminya apabila tidak mematuhinya ( Kej. 2: 17),
-   Tuhan membuat manusia berbeda dengan mahluk ciptaan-Nya yang lainnya (Kej. 2: 9, 18-22).
2.      Manusia menerima sesamanya dengan penuh penghargaan (Kej 2: 23-24)
3.      Allah merupakan sumber kehidupan manusia.
 Bukti-buktinya :
-       Tuhan Allah menyediakan segala kebutuhan jasmaniah manusia (Kej 2: 8-9),
-       Tuhan Allah menyediakan kebutuhan jiwa manusia (Kej 2: 18-22).
1.      Keintiman Hubungan Itu Terputus.
Bukti-buktinya :
-    Manusia berusaha menarik diri dari perjumpaan dengan Allah dengan bersembunyi di antara pohon-pohonan dalam taman (Kej. 3: 8),
-    Manusia takut bertemu dengan Allah (Kej. 3: 9-10),
2.      Manusia tidak menerima sesamanya seperti pada waktu Allah menciptakannya, manusia cenderung menyalahkan  sesamanya, dan benda-benda lain di luar dirinya ( Kej. 3: 12),
3.      Perempuan akan mengalami sakit pada bersalin (Kej. 3: 16),
4.      Manusia harus bersusah payah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya selama di muka bumi ini (Kej. 3: 17),
5.      Allah tetap campur tangan dalam kehidupan manusia.
Bukti-buktinya :
-      Allah membuat satu ketetapan tentang akan adanya penyelamatan di masa depan (Kej 3: 15),
-      Tuhan menjelaskan akibat yang harus dialami oleh manusia (Kej 3: 17-19),
-      Tuhan Berinisiatif menutupi ketelanjangan manusia (Kej 3: 21).

Tabel 1. Perbandingan Sebelum dan sesudah manusia jatuh dalam dosa.

Pada tabel di atas, satu bukti menyatakan bahwa setelah jatuh ke dalam dosa, “mereka takut bertemu dengan Allah” (Kejadian 3:8). Pada waktu Adam dan Hawa mendengar langkah kaki Allah, Adam dan Hawa lebih memilih bersembunyi  dari hadapan Allah karena takut bertemu dengan-Nya. Chales dalam Wycliffe Commentary  memberikan pendapat tentang kata “takut” sebagai satu keadaan takut disertai dengan perasaan terteror.[1] Tomatala menegaskan, perasaan takut dan terteror itu  terjadi karena Adam diperhadapkan kepada hukuman  kematian terhadap kebenaran (Kejadian 2: 17; 1 Petrus 2: 24) dan hidup untuk dosa sebagai akibat dari ketidak-taatannya.[2] Dalam keadaan itu, Allah tidak mendekati mereka dalam guntur atau  dengan panggilan yang kasar.[3]  Dalam kasus tersebut, posisi Adam secara yuridis (kata “yuridis” artinya menurut hukum; secara hukum[4]) terbukti melanggar perintah Allah.[5] Pada waktu Adam mengetahui dirinya telah bersalah karena gagal mentaati perintah Allah (Kejadian 2: 16,17), Adam  beserta isterinya berusaha untuk bersembunyi dari Allah. Dalam kasus tersebut, Allah-lah yang berinisiatif untuk menemukan mereka.
Berdasarkan catatan kitab Kejadian, penulis menemukan beberapa kebenaran berikut ini:
1.      Tindakan Allah untuk menemukan mereka tidak berhenti pada batas mencari, dan menemukan.
2.      Alkitab tidak mencatat bukti yang menyatakan Allah meninggalkan mereka dalam keadaan terteror.
3.      Alkitab juga tidak mencatat bahwa Tuhan Allah membuat alternatif lain seperti membinasakan mereka lalu menciptakan manusia yang baru dan yang taat secara mutlak kepada-Nya.
4.      Alkitab memberikan bukti yang bertolak belakang dengan pelanggaran Adam dan Hawa.
Dalam kondisi demikian pun Allah memberikan janji penyelamatan kepada Hawa. Inilah pertama kalinya Allah menyampaikan janji penyelamatan kepada manusia (Kejadian 3:15). Janji penyelamatan ini disebut “Protoevangelium.”[6] 
Untuk memahami pentingnya janji penyelamatan itu bagi manusia, marilah melihat pandangan Allah menurut Alkitab tentang keberadaan dosa dan manusia berdosa. Setelah manusia berdosa, ia menjadi manusia yang bersifat daging (Ibrani “בּשׂרdibaca bâsârartinya benar-benar daging sama seperti daging binatang), lemah dan berdosa[7](Kejadian 6:3), dan keberadaannya itu memilukan hati Allah (Kejadian 6:7). Pandangan Allah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru  tentang dosa dan manusia berdosa tidak berubah. Perhatikanlah tabel berikut ini:


Perjanjian Lama
Perjanjian Baru
Kejadian 6 :5-6: “Ketika dilihat Tuhan, bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan, maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia dibumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.”

Roma 3:10-18 : “Tidak ada yang benar, seorang pun tidak. ...rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu.”
Roma 3: 23 : “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah

Kejadian 6: “Berfirmanlah TUHAN, ‘Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu dari muka bumi,... sebab Aku menyesal,...”
Roma 6: 23: “Sebab upah dosa ialah maut....”

Tabel 2. Keberadaan Manusia Berdosa di Hadapan Allah

Berdasarkan pada tabel 2 di atas, nyatalah bagaimana Allah memandang dan mengambil sikap terhadap dosa dan manusia berdosa. Alkitab mencatat “Allah merencanakan untuk menghapuskannya dan atau memberikan “maut” sebagai upahnya. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata “maut” didefinisikan dengan kematian atau membawa kepada kematian.[8]Definisi ini lebih mengarah kepada kematian fisik. Morris menegaskan bahwa kata “maut” memiliki arti lebih dari sekedar kematian fisik, tetapi kematian yang bersifat eskatologis (Yudas 12; Wahyu 2:11) artinya manusia berhadapan dengan kematian yang kekal.[9]
Ketidak-taatan manusia menyebabkan Allah menyesal dan berikhtiar untuk membinasakan manusia beserta seluruh mahluk yang ada di muka bumi dan Tuhan Allah melakukannya, tetapi di sisi lain Allah memberikan  kasih karunia kepada Nuh


beserta keluarganya (Kejadian 6: 5-8), dan juga kepada semua bangsa. Puncak dari perwujudan kasih itu dinyatakan di dalam diri Yesus Kristus. Berikut ini laporan dari kitab-kitab Perjanjian Baru tentang misi tersebut.
1.      Dalam kitab Yesaya diberitakan bahwa Allah menjanjikan seorang penyelamat bagi Israel dan bangsa-bangsa lain juga (Yesaya 9:5; 45: 20-22), janji ini mengacu pada Yesus.
2.      Dalam kitab-kitab Injil Sinoptik dijelaskan: Yesus Kristus datang ke dunia ini untuk mencari dan menyelamatkan yang hilang (Matius 18:11; Lukas 19:10).
3.      Injil Yohanes menyatakan: kehadiran Yesus di dunia ini merupakan bukti nyata dari kasih Allah kepada manusia. Ia datang dengan misi kasih, tetapi Allah menuntut satu syarat agar manusia dapat menerima keselamatan tersebut, yaitu dengan mempercayai-Nya (Yohanes 3:16).
4.      Kitab Kisah Para Rasul menekankan pemberitaan Petrus tentang Yesus yang telah diutus oleh Allah Bapa. Yesus disebut sebagai satu-satunya jalan keselamatan, dan tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya manusia dapat diselamatkan (Kisah Para Rasul 4:12).
Menurut Walter, Allah dalam kasih yang kudus berprakarsa memikirkan dan
melaksanakan “karya Penyelamatan”[10]yang diwujudkan dalam diri Yesus Kristus.[11]Menurut Abraham apapun penginjilan itu dimulai di dalam hidup, kematian, dan kebangkitan Yesus dari Nazaret.[12] Poros dari keselamatan itu adalah Salib Kristus (Roma 1:16; 1 Korintus 1:18). Dalam hal ini para teolog Biblika sepakat bahwa dalam Kristus-lah Allah melaksanakan tindakan penyelamatan.[13]


[1]Charles F. Pfeiffer (ed), The Wycliffe Bible Commentary (Old Testament) (Chicago: Moody Press, 1962), p. 7.
[2]Yakub Tomatala, Penginjilan Masa Kini (jilid 1), p. 7.
[3] Charles F. Pfeiffer, p. 7.
[4] Kamus Besar Bahasa Indonesia, p. 1016.
[5]Yakub Tomatala, p. 7.
[6] Ibid..
[7] William Wilson, Wilson’s Old Testament Word Studies, (Massachusetts: Hendrickson Publishers), p. 169.
[8] Kamus Besar Bahasa Indonesia, p. 639.
[9] Ensiklopedia Alkitab Masa Kini (Jilid 2), S.v. “Mati, Kematian, dan Maut,” by L. M. Morris. (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 1995; Reprint ed. 2000), p. 36
[10]Ibid. S.v. “Selamat, Keselamatan,” by G. Walters, p. 377.
[11]Ibid. p. 375.
[12]William J. Abraham, The Teologic of evangelism (Michigan: William B, Eerdmans Publishing Company Grand Rapids, 1989), p. 17.
[13] Ensiklopedia Alkitab Masa Kini (Jilid 2), S.v. “Selamat, Keselamatan,” p. 378.